Terdengar sebuah ketukan lembut dipintu kamarku. Dan sosok yang muncul dari balik pintu itu berkata...
“Kak, Rehan boleh masuk??”.
“Masuk aja. Lagian sejak kapan loe berubah sopan gitu?”, ujarku.
Dia pun melangkah masuk ke kamrku dan mengambil joystick PS2 yang tergeletak tak jauh dariku. Kemudian ia berkata lagi...
“Kakak nge-net lagi yach?”.
“Ya..biasalah”, sahutku.
“Kak, tadi waktu disekolah…bukan Rehan yang nyuruh mereka. Sumpah… kakak liat sendiri
“Iya gue liat koq. Lagian gue juga ga bakal ngapa-ngapain kalopun misalnya loe juga ikut-ikutan ngeganggu si kacamata”, jawabku tenang dan kemudian aku berbalik kepadanya dan tersenyum.
Rehan adalah salah satu adikku. Dia anak kedua dikeluargaku. Selain dia aku masih punya satu adik lagi, adik perempuan. Si bungsu, namanya Mirelle. Rehan seperti yang sudah diceritkan sebelumnya, masih duduk dikelas satu SMA, dan ia satu sekolah denganku. Diantara adik – adikku, Rehan yang bisa dikatakan paling dekat denganku.
Aku dan adik-adikku bukan keturunan
Sedangkan adik Papa, akhirnya menikah dengan seorang wanita asal Solo. Dari pernikahan mereka, lahirlah seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Riki Hadinata.
Aku dan adik-adikku sebenarnya punya nama Jepang pemberian Papa, tapi tidak kami gunakan dengan alasan kami tinggal di
Kakekku, meskipun pada awalnya bersikap keras pada anak-anaknya pada akhirnya bersedia memaafkan mereka. Kakek meminta Papa dan Omku untuk kembali ke Jepang. Tapi mereka menolak karena bisnis mereka di
************
Hari minggu itu, matahari disudut timur berlari-lari kecil menerobos mencoba mencuri-curi kesempatan untuk memberikan sinarnya dari balik arak-arakan awan. Rinai titik air terlihat sedang melakukan atraksi terjun bebas dari sela-sela dedaunan pohon pinus di taman rumahku, tanda seusai hujan tadi malam. Rerumputan pun terlihat hijau segar kembali oleh sisa-sisa air hujan.
Di sudut taman, terlihat Papa dan Rehan sedang bermain shogi, sejenis permainan catur ala Jepang di gazebo belakang rumah. Mama dan Mirelle pun terlihat asyik melihat permainan mereka sembari terkadang memberi komentar permainan mereka.
“Mau kemana Rheo?”, tanya Mama saat melihatku berjalan kea rah garasi.
“Rheo cuma mau berkunjung ke suatu tempat Ma. Dah lama Rheo ga kesana”.
“Tempat apa sih Rhe?”, tanya Papa penasaran.
“Cuma tempat yang punya kenangan tersendiri buat Rheo koq Pa. Rheo pamit dulu ya Ma…Pa…”, jawabku sembari mencium tangan mereka.
“Koq kakak ga cium tangan Mirelle juga kak?”,sahut si Bungsu.
“Iya..iya. mana sini?”, kataku sambil menyodorkan tanganku. “Gue pergi ya Han?”, kataku kemudia pada Rehan.
“Hem……ati-ati dijalan ya Kak”.
Ketika aku hendak membuka pintu mobil, dari arah gazebo terdengar sorakan, “Papa kalah!! Papa kalah…!!!”.
************
Mobilku melaju diantara ramainya kendaraan yang lalu lalang ditiap ruas jalan di
Aku menelusuri jalan setapak sambil memmbawa seikat bunga yang kubeli dekat aku memarkirkan mobilku. Sesampai ditempat yang aku tuju, didepan mataku terbentang sebuah pusara diantara pusara-pusara yang lain. Sekali lagi, setelah sekian lama aku harus melihat tulisan yang tertera pada nisan pusara itu…
Renata S
binti
Brawijaya
Lahir: 14-08-85
Wafat: 04-09-99
Aku lalu berjongkok disamping pusara itu, lalu berkata dalam hati,”Aku kembali sayang…”.
Aku terdiam seribu bahasa disamping pusara. Air mataku terkadang mencuri kesempatan untuk keluar dari mataku. Sampai akhirnya kubiarkan saja air mataku keluar dan bermain di pipiku.
“Sudah dua tahun sayang…”, kataku sedikit terisak. Lalu aku pun seperti tersedot masuk kedalam pusaran kenanganku.
Saat itu aku duduk diruangan serba putih. Disitu aku duduk sambil memegang tangan Rena yang terbaring lemah didepan mataku. Botol dan jarum infus menghiasi sekujur tubuhnya. Dia terbaring disitu karena kecelakaan yang menimpanya sekitar
Tak lama kemudian, kelopak matanya terbuka. Dia tersenyum kepadaku, lalu berkata,”Abie…kamu disini. Aku ada dimana?”.
“Iya..aku disini. Kamu sekarang ada dirumah sakit. Kamu sekarang jangan banyak gerak dulu ya Bunda. Kamu harus istirahat biar kamu cepet sembuh.”
“Maafin aku ya, Abie..dah buat kamu cemas” ,ucap Rena lirih.
“Ga ada yang perlu dimaafin Nda…” , jawabku berusaha menenangkan.
Menit-menit berlalu dengan obrolan kami. Dia memintaku mengambilkan secarik kertas dan pena untuknya. Dan dia, mulai menulis…sebuah puisi. Setelah itu dia berkata pelan
“Abie harus simpan ini baik-baik”.
Esok harinya, pukul 07.35, aku menerima telepon dari Mamanya Rena.
“Rheo…kamu yang tabah ya sayang. Rena baru aja kembali ke Yang Maha Kuasa…”, suara diseberang
Aku tak mampu membendung rasa dukaku. Baru kemarin Rena mengobrol dan membuatkan puisi untukku. Aku lalu teringat pada puisi yang dibuatnya kemarin dan belum sempat kubaca. Setelah selesai membacanya…
“Tuhan…mengapa Kau ambil dia dariku?!”, isakku pelan.
Aku ikut mengantarkan Rena ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Menemaninya disaat-saat dia hendak beristirahat dari lelah dunianya selama ini.
Kejadian tiga tahun lalupun memudar dan digantikan dengan kenangan berikutnya. Satu tahun berikutnya aku kembali kesini. Menatap sedih pusara didepan mataku. Lalu…
“Bunda…aku udah jadian sama Kinan. Udah dua bulan. Tapi sekarang aku harus pergi… aku harus ngelanjutin studi aku disana”, ujarku saat itu.
Dan sekarang, aku kembali kesini. Bukan untuk mengantarkan ataupun pamit padanya. Aku hanya ingin menumpahkan rasa kangenku padaya. Aku pun bercerita pada pusara didepanku tentang semua yang terjadi padaku selama dua tahun terakhir. Kemudian berkata,” Dia mengkhianatiku…”.
************
“Huh…quesioner lagi…quesioner lagi”, keluh Thomas di Senin pagi itu. “Siapa sih yang doyan ngasih kita quesioner tiap hari Pak?”, tambahnya.
“Iya nih Pak…udah orangnya ga jelas, pake acara ngasih quesioner lagi”, sahut Tanya.
“H.T…katanya sih mahasiswa asal Jepang. Tapi koq ga pernah ngasih liat wujud aslinya. Jangan-jangan keturunan jin tuh orang”, ucap Ican. Aku pun tersenyum mendengar ucapannya.
“Sudah…sudah. Jangan banyak ngeluh. Yang penting kalian isi saja quesionernya”, kata Pak Ramdan, wali kelas kami menenangkan.
************
“Eh, Rhe…ntar sore loe ikut
“Jam berapa?”, tanyaku.
“Jam 3…loe dateng
“Iya..gue dateng. Tenang aja…”.
“Hmmmm…mereka lagi ”, kata Andre sambil menunjuk kea rah rehan dan teman-temannya. Dari arah belakang, kami dikejutkan oleh suara Riki
“Da pa?mereka buat onar ma loe berdua?”.
“Nggak koq”, jawab Andre.
Kulihat Rehan dan teman-temannya pergi ketika melihat kami. Mata mereka sudah tidak lagi tertujub kepada kami seperti sebelumnya. Sepertinya Rehan sudah memberitahukan sesuatu kepada mereka.
************
Sore itu, pertandingan basket sudah dimulai. Aku datang terlambat karena ada sesuatu urusan yang harus Aku selesaikan. Aku mulai mencari-cari dimana teman-temanku berada. Sampai akhirnya aku melihat mereka duduk dibawah pohon didepan laboratorium fisika. Aku tidak menyadari bahwa sejak Aku tiba disini, Aku sedang diawasi oleh seseorang.
“Koq telat Rhe?”, tanya Riki ketika Aku sampai ditempat mereka.
“Gue ada urusan bentar”.
“Rhe…loe kemaren cerita tetntang Kinan
“Rheo…sayang… kamu udah pulang Babe?”,ujar suara dibelakangku. Aku lalu melepaskan dekapannya dan kemudian berbalik.
“Kinan…?”, kataku sedikit terkejut. Kulihat dia tersenyum kepadaku.
“Aku kangen banget ma kamu Babe”, katanya sambil kembali memelukku. Kurasakan ada nada kegembiraan dalam nada suaranya, tapi itu malah membuatku semakin tak ingin bertemu dengannya dan ingin segera lepas dari pelukannya.
“Kamu kenapa sih Babe? Kamu ga kangen sama aku?”. Kulihat ada seseorang yang kukenal dua tahun lalu mengawasi dari bangku pamain basket sekolah lain. Dia lalu berjalan menuju ke arahku.
“Kinan ngapain kamu disini sayang? Dan siapa cowok i…”, kalimatnya terhenti saat melihatku. Lalu berkata lagi
“Rheo? Loe Rheo
“Baik…”, jawabku hambar.
“Kinan?kamu kenal Rheo? Dia sahabat kamu?”, tanya cowok itu.
“Raya, kamu kenal Rheo dimana?”, tanya Kinan sedikit takut.
“Aku kenal waktu dirumah sakit. Kamu inget
Ingatan itupun muncul kembali didepanku. Kejadian satu setengah tahun yang lalu memaksaku untuk mengingatnya kembali.
Aku sedang dalam perjalanan pulang ke
Laki-laki itu melihatki yang sedang berdiri di ambang pintu masuk. Aku pun pergi meninggalkan pemandangan itu dengan perasaan sedih dan kecewa. Tapi laki-laki yang kulihat bersama Kinan tadi mengejarku, lalu berteriak
“Hei…! Tunggu! Loe ngapain tadi?”, tanyanya sedikit kasar.
“Oh…maaf. Gue pikir itu tadi ruang perawatan sepupu gue. Tapi bener koq tadi gue ga sengaja ngeliat loe lagi…”kataku sedikit berpura-pura.
“Ooo…gue pikir loe tadi mau ngelakuin tindak criminal. Kalo gitu gue juga minta maaf dech dah mikir yang macem-macem tentang loe. Gue Raya, dan itu tadi pacar gue. Dia kena DBD. Makanya dia dibawa kesini”.
“Pacar loe? Udah lama jadiannya? Keliatannya mesra banget?”, tanyaku dengan perasaan getir yang kusimpan dalam hati.
“Iya..gue dah jadian sama dia enam bulan”. Deeg…enam bulan?? Itu artinya sejak aku pergi melanjutkan studi…
“Btw, nama loe siapa?”, tanya laki-laki itu.
“Panggil aja gue Rheo..”, kataku sambil berlalu darinya.
…………………………………………
“Kin, sebaiknya loe lepasin Rheo. Udah cukup loe nyakitin perasaan dia.”, ujar Riki membuyarkan ingatanku.
“Maksud loe apa?”, tanya Raya.
“Maksudnya, gue minta Kinan buat jangan pernah nemuin Rheo lagi dan mulai sekarang Rheo udah bukan cowok seorang Kinan lagi”.
“Kinan??”, Raya mencoba mencari penjelasan.
“Loe dongo’ pa o’on sih? Loe tuh dibo’ongin ma Kinan. Sebelum dia jadian sama loe, dia dah jadian ma Rheo. Itu artinya, loe jadi selingkuhannya”, sahut Riki pedas.
“Kinan…”, Raya mencoba untuk tidak percaya ucapan Riki.
“Maafin aku Raya..aku manfaatin kamu selama ini”,ucap Kinan lirih. Dia lalu melihat ke arahku, lalu berkata, “Tapi aku masih sayang kamu Rhe…”.
“Udah ga da gunanya Kin. Gue dah terlanjur sakit hati karena loe. Loe dah bikin gue kecewa. Selama gue ga ada, loe dah selingkuh ma orang lain, loe ga pernah bales semua email yang gue kirim ke loe, ato nerima telepon dari gue”, kataku berusaha tenang.
“Tapi Rhe… aku ga mau pisah dari kamu..”, isaknya.
“Loe ga mau pisah? Loe sadar ga sama ucapan loe? Loe ga mau pisah tapi disisi lain loe udah ngekhianatin kepercayaannya dia. Punya otak ga sih loe?”, sela Riki. “ lagian mo dikemanain selingkuhan loe?!”, lanjut Riki.
“Rhe…please…”, Kinan memohon disela tangisnya.
“Kin…kita sampe disini aja ya? Lagian kasian Raya kalo loe masih sama sama gue. Waktu yang loe abisin
“Tapi Rhe…aku masih sayang banget sama kamu”, lirih Kinan sambil memegang tanganku.
“Nggak…nggak ada tapi-tapi. Loe baik-baik ya ma Raya”, ucapku. Kulihat wajah Kinan yang basah karena air mata. Dia seolah tidak ingin melepaskanku. Tapi rasa sakitku lebih besar dari rasa bahagiaku. Dukaku lebih besar dari sukaku. Aku lalu melepaskan diri dari pegangan tangan Kinan dan Aku pun beranjak pergi dari tempat itu tanpa menatap Kinan yang masih menangis.
“Semua udah berakhir Kin…”, ucapku dalm hati.
************
“Ki… Rheo dah tiga hari ga masuk sekolah. Dia kemana sih?”, tanya Andre Kamis itu sebelum jam pelajaran pertama dimulai.
“Ga tau. Gue udah coba ngecek kerumahnya tiga hari ini, tapi orang-orang dirumahnya bilang kalo dia lagi pergi. Dari pagi ampe malem lagi…”.
Lalu suasana kelas 3 IPA A berubah hening ketika Pak Jaya, Kepala Sekolah masuk. Seisi kelas terkejut ketika melihat orang yang berjalan dibelakangnya.
“Anak-anak…hari ini, mahasiswa asal Jepang yang sering ngasih kalian quesioner akan kembali ke Jepang. Dia kesini untuk mengucapkan terima kasihdan sekalian pamit pada kalian semua”.
“Tapi Pak? Ga mungkin dia
“Iya… gue orangnya Mas”, sahutku.
“Nggak mungkinlah Rhe. Nggak mungkin sekarang loe dah jadi mahasiswa. Loe tuh klo becanda yang masuk akal dikit napa”, ujar Riki. “Lagian di quesioner itu namanya…”
“H.T..Hikaru Takizawa. Loe ga lupa sama nama Jepang gue
“Tapi gue piker itu bukan loe”, sahut Riki.
“Terus kenapa bisa loe jadi mahasiswa?”, tanya Andre.
“Waktu gue ngelanjutin studi gue ke Jepang, Bokap masukin gue disekolah ngetop disana. Ngeliat prestasi gue yang kaya’ anak lainnya, akhirnya gue direkomendasiin pihak sekolah buat ikut tes masuk Universitas, setahun waktu gue mulai sekolah disana. Dan gue lulus tes masuk, dan sampai sekarang gue tercatat sebagai salah satu mahasiswa Fakultas Psikologi di Universitas
“Tapi loe bilang
“Itu cuma cerita karangan gue Ki..”, ujarku.
Aku lalu berpamitan pada teman-temanku dan mengucapkan terima kasih pada mereka. Pada awalnya Riki belum bisa menerima, tapi berkat penjelasanku dan bujukan dari Andre, Ical, dan Thomas akhirnya dia bisa mengerti.
Ketika Aku berjalan di lorong koridor sekolah, Rehan dan teman-temannya menghampiriku.
“Mo nagapain loe semua?”, sahut Riki yang ikut mengantarku sampai depan gerbang sekolah.
“Cuma mo ngeliat kakak gue buat terkhir kalinya disini”, balas Rehan enteng.
“Kakak?”, tanya Riki sambil menoleh ke arahku.
“Iya… masa loe lupa sih ma sepupu loe sendiri? Adik gue yang nomer dua. Yang sering loe liat dirumah itu
“Kak…ati-ati yach. Kakak harus janji klo kakak dah selesai kuliah disana, kakak harus balik lagi ke
“Beres…”, ucapku.
“Oia…kak. Ini ada oleh-oleh dari kita. Anggep aja ini kado permintaan maaf dari kita karena waktu itu pernah nantangin Kakak”, kata Bram sambil memberikan sebuah bingkisan kepadaku.
“Thanx ya…”, ucapku pada Bram.
Aku juga kemudian berpamitan pada Rehan dan teman-temannya.
************
Didalam mobil, aku melihat-lihat
“Bunda…Abie harus pergi lagi. Semua urusan aku disini dah aku selesaiin semuana termasuk urusanku sama Kinan. Abie janji suatu hari nanti, Abie bakal balik kesini lagi. Abie bakal jenguk Bunda lagi disini. Abie sayang Bunda…”, bisikku.
“Sampai nanti…Bunda”.
Dan pusara itu jadi saksi kepergianku lagi.
No comments:
Post a Comment